• Web
  • Blog Anda
  • Senin, 15 Februari 2010

    MENELAAH KEMBALI HAKIKAT PERNIKAHAN DALAM ISLAM

    Pengantar
    Realita kondisi keluarga Muslim saat ini sangat memprihatinkan. Proses menjauhkan agama dari
    kehidupan dan perombakan nilai fitrah sangat terasa di masyarakat. “Nilai-nilai baru” yang
    ditawarkan kebudayaan Barat kini mewarnai life style masyarakat. Pola hidup keluarga berubah
    ke arah materialistis dan individualistis. Ikatan antar anggota keluarga mulai melonggar dengan
    perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islam. Masyarakat dan keluarga Muslim mengalami benturan
    nilai, permissive society, dan lembaga pernikahan mulai diragukan. Dalam keluarga, banyak terjadi
    tindak kekerasan suami terhadap isteri, perkosaan ayah terhadap anak, perselingkuhan, perceraian,
    dan lain sebagainya.
    Jika ditelaah lebih jauh, hal itu tidak akan terjadi jika setiap Muslim memahami hakikat
    pernikahan dalam Islam. Lalu bagaimanakah pandangan Islam tentang pernikahan ?
    Dasar Hukum Islam tentang Pernikahan
    Allah menciptakan manusia, pria dan wanita, dengan sifat fitrah yang khas. Manusia memiliki
    naluri, perasaan, dan akal. Adanya rasa cinta kasih antara pria dan wanita merupakan fitrah
    manusia. Hubungan khusus antar jenis kelamin antara keduanya terjadi secara alami karena
    adanya gharizatun nau’ (naluri seksual/berketurunan). Sebagai sistem hidup yang paripurna,
    Islam pasti sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya Islam tidak melepaskan kendali naluri
    seksual secara bebas yang dapat membahayakan diri manusia dan kehidupan masyarakat. Islam
    telah membatasi hubungan khusus pria dan wanita hanya dengan pernikahan. Dengan begitu
    terciptalah kondisi masyarakat penuh kesucian, kemuliaan, sangat menjaga kehormatan setiap
    anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan umat manusia.
    Tujuan Mulia Pernikahan dalam Islam
    Islam memandang pernikahan bukan sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata,
    tetapi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah (bernilai ibadah).
    Tujuannya sangat jelas, yaitu membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta),
    dan rahmah (kasih sayang) (QS. Ar-Rum [30] : 21). Dengan begitu, pernikahan akan mampu
    memberikan kontribusi bagi kesatabilan dan ketentraman masyarakat, karena kaum pria dan wanita
    dapat memenuhi naluri seksualnya secara benar dan sah.
    Berbeda dengan pandangan Barat yang memandang interaksi dalam bentuk pernikahan adalah
    hal yang kolot dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, kalau dapat memenuhi hasrat
    seksualnya dengan melacur, hidup bersama tanpa nikah, dan sebagainya, maka hal itu sah saja.
    Akibatnya dalam tatanan masyarakat Barat, lembaga pernikahan telah runtuh dan dipandang
    sebagai pembelenggu kebebasan. Wajar jika kemudian praktek perzinaan secara massal
    (pelacuran), perselingkuan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksualitas, lesbianisme, dan aborsi
    dianggap lumrah.
    Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bagian dari proses keberlangsungan generasi manusia
    secara universal (QS. al-Hujurat [49] : 13). Kita dapat melihat, upaya sebagian manusia untuk
    meruntuhkan dan menganggap rendah pernikaan, berujung pada kegoncangan keluarga, orang takut
    atau kalau menikah takut punya anak, praktek aborsi marak. Dalam level negara, kita lihat struktur
    kependudukan (demografis) suatu bangsa dapat mengalami kekurangan atau minim anak dan
    generasi muda serta overload generasi renta (kasus Perancis dan Jerman). Ini jelas berbahaya bagi
    kelangsungan negara tersebut. Selain itu, tingginya angka perceraian mendorong maraknya pola
    orangtua tunggal (single parent).
    Penutup
    Demikianlah hakikat pernikahan dalam Islam. Apabila setiap Muslim memahaminya, maka akan
    tecipta keluarga Islami, yaitu keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah dengan
    orientasi anggotanya adalah mencari karidhaan Allah dan rela diatur oleh aturan-Nya. Ketaatan ini
    dimulai sejak awal pernikahan, yaitu dari sejak menentukan kriteria pasangan hidup, proses
    memilih, khitbah, serta proses berumah tangga.
    Islam mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga (suami/ayah, isteri/ibu, anak-anak) secara
    sempurna, komplit, harmonis, dan bersifat saling mengisi. Dimana pola relasi suami-isteri adalah
    mitra/partner, sepasang kekasih, sahabat suka dan duka, satu sama lainnya saling mengisi kekurangan,
    saling mengingatkan kesalahan, saling mendorong berbuat amar ma’ruf nahi munkar dan taat kepada
    Allah. Kalau terjadi pertengkaran, maka solusinya bukan baku hantam tetapi melalui nilai dan hukum
    serta tahap-tahap yang telah ditetapkan Allah.
    Dengan demikian keluarga Muslim tidak akan tercemar oleh “nilai-nilai baru” kebudayaan Barat
    yang kini mewarnai life style masyarakat, namun senantiasa berada di jalan Allah.