• Web
  • Blog Anda
  • Minggu, 13 Desember 2009

    Ushul Fiqh

    HUKUM SYARA`

    A. Pengertian Hukum Syara’
    Hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata “syara’”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara etomologi berarti “memutuskan”, “menetapkan dan menyelesaikan. Kata hukum dan kata lain yang berakar kepada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat al-Qur’an ; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
    Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata hukum itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah : Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluiruh anggotannya.
    Kata syara’ secara etimologis berarti : jalan, jalan yang biasa dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti ketentuan Allah. Dalam al-Qur’an terdapat 5 kali disebutkan kata “syara” dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.
    Bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu “hukum syara” akan berarti : Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semuia umat yang beragama Islam.
    Ahli fiqh memberikan definisi hukum syara’ sebagai berikut : Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu. Dalam bentuk ini yang disebut hukum syara’ adalah “wajibnya shalat” sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat; atau haramnya memakan harta orang secara bathil sebagai akibat dari larangan Allah memakan harta orang secara bathil.


    B. Pembagian Hukum Syara’
    Bertitik tolak dari definisi hukum syar’i diatas yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum syara’ itu terbagi dua:

    1. Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan , yang disebut hukum taklifi. Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang suidah mukallaf.
    2. Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan allah, tidak langsung mengatur perbuatan mkallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.

    C. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
    Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi: pertama, bentuk-bentuk hukum taklif menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu iajb, nadb, ibadah, karahan, dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi, seperti iftirad, ijab, nabd, ibadah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyah dan tahrim.

    Bentuk Pertama
    a. Ijab
    Yaitu tuntutan Syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dean tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat an-Nur: 56
       •    
    Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.



    Dalam ayat ini, allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dn membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan denganm perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh karena itu, istilah ijab, menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khitab (tuntutan) Allah, yaitu ayat diatas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang deituntut oleh khithab Allah.
    b. Nadb
    Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah :282, Allah SWT. Berfirman:

              
    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya.
    Lafal faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah :283)

             ….
    Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya ….




    Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang piutang disebut manduib, dan akibat dari tuntutan Allah diatas disebut nadb.
    c. Ibahah
    Yaitu khithab yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al- Maidah : 2


    …  
    Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu…..
    Ayat ini juga menggunakan lafal amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah., dan akibat dari khithab ini, juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
    d. Karahah
    Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenal hukuman. Akibat tuntutan seperti ini disebut juga Karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadist Nabi Muhamad SAW. :
    “perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.”
    (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
    Khithab hadis ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh.

    e. Tahrim
    Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbutan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am : 151 :

       •   
    Artinya :
    “….jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah….”(QS. Al-An’am :151)
    Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.
    Perbedaan istilah-istilah yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqih dalam hukum taklifi ini, seperti untuk yang sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujud, dan wajib, dan lainya, disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Apabila khithab (ayat) tersebut dilihat dari sisi Allah sebagai penuntut, maka ayat yang mewajibkan salat dan zakat itu disebut ijab. Apabila ayat itu dilihat dari sisi mukallaf yang dituntut untuk melaksanakanya, maka tuntutan shalat dan zakat itu disebut wujud. Sedangkan istilah wajib, merupakan sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah. Namun demikian, istiah-istilah tersebut (wujud, wajib, tahrim, hurmah, haram, dan sebagainya), merupakan tuntutan Syar’I (Allah dan Rasul-Nya).

    Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyyah :
    a) Iftirad
    Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang qath’i. misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadis yang mengandung tuntutan mendirukan shalat dan membayar zakat sifatnya adalah qath’i


    b) Ijab
    Yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relatif benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fitrah, membaca Al-fatihah dalam shalat, dan ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib dilaksanakan, tetapi kewajibanya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
    c) Nadb
    Maksudnya sama dengan nadb yang dikemukakan Jumhur ulama Ushul Fiqih/ mutakallimin.
    d) Ibahah
    Juga sama dengan yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqih/ mutakallimin.
    e) KarahahTanzihiyyah
    Yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk meninggalkan suatu pekerrjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya, larangan berpuasa pada hari Jum’at. Karahah Tanzihiyyah dikalangan Hanafiyyah, sama pengertiannya dengan karahah dikalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh/ mutakallimin.
    f) Karahah Tahrimiyyah
    Yaitu tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan, maka ia dikenakan hukuman. Hukuman ini sama saja dengan haram yang dikemukakan Jumhur ulama Ushul Fiqih.
    g) Tahrim
    Yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatau pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang (Q.S Al-Isra :23 ) dan berbuat zina (Q.S. Al-Nur :2)

    D. Hukum-Hukum Menurut Fuqaha
    Hukum-hukum menurut fuqaha adalah dampak dari tuntutan khithab tasy’ri, seperti wajib, haram, makruh, sunah, dan mandub.
    1. Wajib dan pembagiannya
    Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
    Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan perbuatan yang dituntut, terbagi dua, yaitu : wajib muthlaq dan wajib mu’akkad :
     Wajib muthlaq yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Umpamanya mengqadha puasa ramadhan yang tertinggal karena uzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
     Wajib muakkad yaitu kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan itu. Wajib muakkad ini dari segi rentang waktu yang disediakan terbagi kepada tiga, yaitu, muwassa, mudhayyaq dan dzu syahbaini.

    2. Mandub
    Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi tiga macam, yaitu:
     Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
    Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Diantaranya adalah salat-salat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan salat lima waktu (salat fardu), seperti salat sunah dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum dan sesudah zduhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu, adzan, berjama’ah, dan lain-lain.
     Sunah ghairu al-muakkad (sunah biasa)
    Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar’i, seperti bersedekah, salat sunah dhuha dan puasa hari senin dan kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh, disyari’atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW.
     Sunah al-Za’idah (sunah yang bersifat tambahan)
    Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW. Sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah za’idah.

    3. Haram
    Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Apabila keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, maka disebut dengan haram li dzatih. Dan apabila terkait dengan sesuatu yang diluar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan, maka disebut haram li ghairih.

    4. Makruh
    Ulama Hanafiyyah, membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
     Makruh tanzih
    Yaitu sesuatu yang dituntut Syar’i untuk ditingglkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama Hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh dikalangan Jumhur ulama. Misalnya, memakan daging kuda.
     Makruh tahrim
    Yaitu tuntutan Syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki.



    5. Mubah
    Pembagian mubah menurut ulama Ushul fiqih dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu :
     Mubah yang apabila dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
     Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini diantaranya, melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang bias meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah.
     Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Contoh untuk kategori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan haram sebelum Islam, seperti mengawini istri bekas ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian dating syariat Islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya sebelum Islam dimaafkan. Dalam kaitan dengan ini Allah berfirman (Q.S. An-Nisa :22)

    E. Perbedaan Hukum Taklif dengan Hukum Wadh’i
    Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadh’i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas, adalah :
    1) Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bias dijadian sebab, penghalang atau syarat.
    2) Hukum at-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
    3) Hukum at-taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum at-taklif tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wad’I hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena kesulitan dan kesempitan adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan).
    4) Hukum at-taklif ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum al-wadh’I ditujukan kepada manusia saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.

    F. Pembuat Hukum (Hakim)
    Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam. Masalahnya adalah Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, dalam hal ini adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

     Pendapat mayoritas ulama ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan allah kepadanya. Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum allah, dan manusia pun tidak akan mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang Rasul.
     Kalangan ulama kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah adalah satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum Allah itu. Atas dasar pendapat ini, maka sebelum kedatangan Rasul pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada Allah dan telah dianggap berhak mendapat balasan (pahala dan dosa).

    G. Objek Hukum (Mahkum Bih)
    Yang dimaksud dengan objek hukum ialah sesuatu yang dikehendakiu oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak
    Para ahli Ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
     Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”
     Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
     Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.

    H. Subjek Hukum (Mahkum Alaih)
    Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Syarat taklif atas subjek hukum yaitu :
     Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami.
     Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar