• Web
  • Blog Anda
  • Senin, 28 Desember 2009

    "Lupa" merupakan ciri kerusakan memori Otak

    Lupa” merupakan salah satu ciri berkurangnya kemampuan otak mengolah memori. Peneliti kini semakin yakin faktor utama penyebab kerusakan otak itu adalah stres yang tanpa disadari telah merusak otak.
    Hampir sebagian pasien yang datang ke dokter dalam keadaan demikian terdeteksi stres, tapi mereka tidak sadar. Stres yang berlebihan terbukti bisa merusak kemampuan mengingat otak.
    Meskipun demikian, peneliti mengatakan stres tetap diperlukan karena tanpa stres, seseorang tidak bisa merasakan apa itu bahagia. Namun beberapa studi menunjukkan bahwa stres yang berlebihan akan memicu hormon kortisol yang ternyata berpengaruh pada tes memori.
    Peneliti dari University of Carolina melakukan studi dan mengatakan bahwa jika seseorang membiarkan stres dalam otaknya selama bertahun-tahun, akan mengalami pengurangan fungsi otak tanpa disadarinya. Sebanyak 100 partisipan yang mengikuti tes memori dalam studi membuktikannya.
    Partisipan diberi instruksi untuk mengingat nama orang, benda dan angka oleh peneliti. Dan ternyata hasilnya, mereka yang gagal dalam tes tersebut terdeteksi mengalami stres selama bertahun-tahun. Namun beberapa responden mengaku mereka tidak merasa stres.
    Kerusakan fungsi menyimpan memori dalam otak memang terjadi secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, partisipan pun biasanya tidak tahu bahwa mereka sedang mengalami stres.
    Tapi kabar baiknya, kerusakan memori pada otak tersebut bersifat reversible dan bisa diperbaiki. Caranya yaitu dengan meningkatkan stimulasi otak sekaligus menurunkan level stres.
    Semakin banyak mengingat sesuatu, semakin banyak kapasitas otak untuk menyimpan informasi. Itu karena otak terdiri dari bermiliar-miliar sel saraf atau neuron. Kebanyakan dari sel ini hanya terapung apung di sekitar larutan garam di otak, menunggu untuk distimulasi sehingga bisa meneruskan atau menyimpan data.
    Sel-sel itu harus diaktifkan. Semakin banyak sel tersebut yang dihidupkan, semakin besar kemampuan otak mengolah data
    Jadi jangan ragu-ragu untuk melakukan olahraga otak. Mainkanlah sebuah permainan otak. Cobalah mengingat sepuluh jenis kartu permainan, sepuluh benda untuk belanja, atau sepuluh nama orang yang baru dikenal

    Opsi seorang pendidik menghadapi anak-anak yang bermasalah

    Tolok ukur keberhasilan seorang guru dapat ditentukan berdasarkan sikap dan perilaku anak-anak didiknya. Sebagai pendidik, seorang guru akan merasa berhasil apabila anak-nak didiknya mau bekerjasama dalam proses belajar mengajar. Makna kerjasama adalah bersama-sama melakukan tugas dalam rangka proses pembelajaran. Tetapi adakalanya sikap dan perilaku anak-anak didik menyebabkan seorang guru tidak tahan dan ingin cepat-cepat menyelesaikan sesi pembelajarannya.
    Sebenarnya sikap dan tingkah laku anak-anak yang tidak mau bekerjasama merupakan dampak permasalahan dalam proses perkembangannya. Banyak anak yang bahkan harus kehilangan masa kanak-kanaknya karena orang tua yang sibuk. Sementara anak-anak lainnya dibesarkan oleh pengasuh(nanny). Anak-anak itu diharuskan mandiri sebelum waktunya, akibatnya mereka mengalami stress atau bahkan depresi.
    Apa yang harus dilakukan seorang guru? Sebagai seorang pendidik di sekolah, guru dituntut berperan sebagai orang tua. Seorang guru harus mengerti bahwa dimanapun anak-anak berada, baik di sekolah maupun di rumah, tidak banyak bedanya. Berikut adalah tujuh opsi yang sangat bermanfaat dan efektif untuk diterapkan di rumah maupun di sekolah.
    1. Memberi penjelasan apabila ada masalah atau kejadian insidentil di kelas. Misalnya, seusai kelas melukis ada cat air yang tumpah di lantai. Sebaiknya seorang guru berkata,”Lihat, di lantai ada tumpahan cat air”. Atau ketika guru mendapatkan kertas ujian tanpa nama. Sebaiknya seorang guru berkata,”Kenapa saya dapat kertas yang tidak ada namanya?” Juga apabila anak-anak asik ngobrol di kelas. Seorang guru boleh permisi keluar kelas sebentar untuk kemudian kembali dan mengatakan bahwa suara mereka sangat jelas terdengar sampai hall atau ruangan lain.
    2. Berperan sebagai seorang informan. Misalnya, suatu hari guru menemukan ada meja yang dicoret atau anak-anak mencoret meja. Sebaiknya guru mengatakan bahwa meja bukan tempat untuk menuliskan sesuatu, tetapi kertas. Atau di kelas komputer ada anak yang menggoreskan sesuatu di atas disket komputer. “Disket komputer tidak bisa lagi dipakai jika tergores atau kotor”.
    3. Memberikan pilihan/opsi. Misalnya, setelah seorang anak selesai membuat bentuk bangunan dengan balok atau lego, dia tidak mau membereskannya. “ Bagus sekali istana yang kamu buat! Pasti kamu akan membuat istana lagi besok. Kalau begitu kamu boleh menyimpan balok-balok itu di dalam rak yang sudah disediakan atau ke dalam kotak itu”.
    4. Memberi perintah dengan pesan singkat atau satu kata. Misalnya, seorang anak tidak memulai kalimat dengan huruf besar. Katakan, “Huruf besar!” Atau setelah seorang anak membuka pintu tetapi tidak menutupnya kembali, “ Pintu!”.

    Cara Mengetahui Calon Suami-Isteri

    Pernikahan adalah proses sakral yang diharapkan akan melejitkan dien seseorang. 50% dien ditentukan dalam rumah tangganya.
    Maka, proses untuk menuju ke sana-pun diharapkan benar-benar matang. Dalam arti, tidak bercampur dengan keragu-raguan, was-was atau ketidakikhlasan. Dengan memperbanyak data tentang sang calon agar lebih mantap menerima segala hal baik kekurangan atau kelebihan yang dimiliki suami nanti. Proses ini bisa diawali sebelum khitbah yakni ketika masa ta’aruf.
    Dalam rangka untuk mempertahankan kemantapan menjelang menikah diharapkan agar memperbanyak data tentang calon. Antar calon harus membuka diri tentang siapa ia yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan, agar nantinya masing-masing tidak kecewa.
    Usaha mendapat info tentang calon bisa dilakukan baik langsung maupun tak langsung. Beberapa Cara tak langsung untuk mengetahui bagaimana si calon, di antarnya adalah:
    a. dengan melibatkan keluarga calon,
    b. teman dekat si calon, atau
    c. pihak lain yang sekiranya mengetahui ”kredibilitas” calon Anda.
    d. Boleh bertanya langsung kepadanya tanpa melalui pihak ketiga bila cara-caranya sesuai dengan aturan syariat, misalnya saja tidak berkhalwat (berdua saja) karena dalam hadits yang ketiganya adalah syaitan. Oleh karena itu dalam ”acara” tersebut harus ada keseriusan agenda pertemuan, maksudnya tidak dicampur dengan canda mesra yang asyik masyuk, tetap menutup aurat, menjamin bahwa tidak ada kontak fisik dan cara lain yang aman secara syari’at.

    Ketika Orang tua tidak setuju dengan pilihan kita

    Dalam ajaran agama Islam, orang tua tidak boleh menolak seseorang untuk menikahi putrinya dikarenakan cacat fisik.
    Kebaikan ahlak dan pemahaman agama yang baik merupakan sesuatu yang berharga dari segalanya terutama masalah cacat fisik.
    Dan dalam agama islam juga melarang anak perempuan untuk melawan orangtuanya jika ia tidak diizinkan untuk menikah dengan yang memiliki cacat fisik, karena ridho orangtua juga anda perlukan untuk keberkahan pernikahan anda. Oleh karena itu memang dibutuhkan banyak kesabaran anda untuk meluluhkan hati orangtua agar menerima pilihan anda. Di bawah ini merupakan cara bagaimana menghadapi orang tua yang tidak mengizinkan pernikahan dengan alasan diatas:
    a.ajaklah orangtua untuk berbicara dari hati kehati,
    b.kemukakan alasan terbaik kenapa memilih dia (yang memiliki cacat fisik) jadi suami.
    c.hendaklah menggunakan seorang mediator yang pendapatnya dapat didengarkan orangtua.
    d.Selalu berdoa kepada Allah agar kedua orang tua dapat menerimanya
    e.Bersabar hingga orang tua yakin bahwa pilihan kita adalah pria terbaik.
    f.Bertawakal kepada Allah, karena semuanya ada jalan keluarnya

    Minggu, 13 Desember 2009

    Al-qawaid Al Ushuliyah

    KAJIAN LAFADZ DARI SEGI
    JELAS DAN TIDAKNYA LAFADZ PADA MAKNA
    Lafad dilihat dari segi jelas dan tidaknya, menurut para ulama ushul fiqh dibedakan menjadi :
    1. Lafadz yang jelas dalalahnya ( Dzahirud Dalalah)
    2. lafadz yang tidak jelas dalalahnya (Khafiudz Dalalah)
    A. Dzahirud Dalalah (lafadz yang jelas dalalahnya)
    Dzahirud dalalah adalah suatu lafad yang menunjukkan kepada makna yang dikehendaki oleh Shighat (bentuk) lafadz itu sendiri, dalam lafad yang jelas ini para ulama ushul berbeda pendapat yaitu :
    1. menurut imam Syafii terbagi pada Dzahir dan Nash,
    2. sedangkan menurut iamam Hanafi terdiri atas Dzahir, Nash, Mufassar,Muhkam.
    Dzahir adalah lafadz yang menunjukkan kepada sustu makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh Siyaqul kalam (rangkaian pembicaran/ kalimat), lafad tersebut masih memungkinkan untuk dita`wil maupun ditafsir.
    Contoh. 1
                                  
    3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
    Ayat tersebut adalah dzahir sebeb segera dipahami dari lafad" fankihu ma thaba lakum minan nisaa.."yaitu tentang halalnya menikahi wanita-wanita yang dicintai, padahal maksud sebenarnya dari makna yat tersebut adalah membatasai jumlah wanita yang boleh dinikahi(poligami)
    Hukum lafadz dzahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya selama tidak ada dalil yang menafsirkannya atau menta`wilkannya.
    Contoh 2
     •     
    , Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-baqarah : 275)
    Lafadz " al Bai`a'" dalam ayat tersebut termasuk dzahir sebab arti yang dikehendaki oleh lafadz itu ialah muamalah jual beli yang lajaiam dilakukan masyarakat, yang dalam ayat ini masih bersifat umum yaitu mencakup segala macam jual beli.
    Nash adalah lafadz yang menunjukkan kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalamnya,lafadz tersebut masih mungkin dita`wil maupun ditafsirkan.
    Contoh
                                  
    3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Annisa :3)
    Ayat tersebut diatas ternmasuk paada lafadz Nash,sebab makna yang dimaksud baiak secara lafadz itu maupun oleh siyaqul kalamnya secara asli menjelaskan batasan laki-laki dalam mengawini wanita hanya sampai 4 orang.
    Hukum lafadz Nash wajib diamalkan menurut madlulnya(penunjuknya) yang dalam hal ini makna yang dikehendaki oleh siyaqul kalamnya) selama tidak ada dalil yang menta`wil maupun mentafsirnya.
    Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shighat lafadz itu dan siyaqul kalamnya. Akan tetapi ia tidak dapat dita`wil maupun ditafsir.
    Bentuk lafadz muhkan biasanya :
    a. mengenai hukum-hukum asasi seperti hukum tentang keimanan
    b. mengenai induk keutamaan, seperti harus berbakti pada orang tua, berbuat adil, jujur dll
    c. Mengenai hukum-hukum syar`iyang juz`I (hukum cabang) agar hukum tersebut dilestarikan seperti, larangan menerima saksi dari orang yanag pernah menuduh berbuat Zina, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-nur ayat 4 :
                        
    4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
    Hukum lafadz muhkam wajib diamalkan secara qath`I karena makna lafadz muhkam itu tidak dapat dita`wilkan kepada arti lain diluar lafadznya.
    Mutasyabihat adalah lafadz yang sighatnya sendiri tidakmenujukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati qarinah-qarinah adarai luar yang menjelaskannya,disebabkan syari`(pembuat hukum =Allah) sendiri memandanag tidak perlu diketahui oleh orang,maka tidak perlu dijelaskan.
    Mutasyabih dengan pengertian seperti ini tidak didapati pada nasah-nasah yang berisikan hukum-hukum, oleh karena itu ayat atau hadits yang berisikan masalah hukum bukanlah ayat-ayat mutasyabihat. Sedangkan dalam ayat-ayat yang selain berisikan masalah hukum banyak ditemukan yang mutasyabih.
    Contoh, surat al-fath ayat 10
    •                         •  
    10. bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah]. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

    Menanggapi masalah mutasyabih ini para ulama ahli kalam berpendapat :
    1. Golongan ulama salaf menyatakan berkaitan dengan ayat yang mutasyabih ini mereka menyerahkan sepenuhnya pena`wilannya kepada Allah (hanya Allahlah yang maha tahu artindan maksudnya)
    2. Golongan ulama Khalaf menyatakanbahwa ayat-ayat mutasyabihat harus dita`wilkan makannya dari makna lahir kepada makna lainnya. Seperti pada lafadz 'Yadd" pada contoh diatas oleh ulama salafi dita`wilkan pada makna (القدرة) yang berarti kekuasaan.
    Mujmal adalah lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapti qarinah lafdzhiyah (tulisan) atau haliyah keadaan) yang menjelaskannya, jadi semua lafadz yang tidak dapat dipahami maksudnya dengan sendirinya bila tidak ada qarinah yang menjelaskannya disebut Mujmal.
    Maksud dan hukum yang terkandung pada lafadz yang mujmal bersifat global dan menyeluruh.. dan tidak dapat dipahami maksudnya tanpa adanya penjelas.
    Suatau lafadz dikatakan Mujmal sebab :
    a. Lafadz tersebut Mustarak yang sulit ditentukan artinya
    b. Makna lafadz-lafadz yang menurut makna bahasanya itu dipindahkan oleh Syari`(pembuat hukum) kepada makna yang pantas untuk istilah syariat seperti Lafadz shalat,zakat, puasa dan lain-lain.
    c. Makan lafadz –lafadz yang menurut makna yang umum itu dipergunakan oleh Syari` (pembuat hukum) untuk suatu makna yang khusus, Seperti lafadz
                ••   
    1. hari kiamat,
    2. Apakah hari kiamat itu?
    3. tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?
    4. pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,

    Lafadz itu makna sesungguhnya adalah "pengetuk' tetapi oleh Syari` lafadz itu diartikan khusus yaitu hari kimat sebagaimana dijelaskan oleh rangkaian kalimat berikutnya
    Hukum dari lafadz yang mujmal adalah ditangguhkan sampai ada bayan (penjelas) atas lafadz yang mujmal tersebut..
    Mubayyan adalah suatu lafadz yang sudah jelas makna dan maksudnya bahkan telah rinci penjelasnnya dalam rangkaian teks ayat /hadits tersebut.

    Masail Fiqhiyah

    HUKUM MEROKOK
    Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah perokok semakin banyak tiap harinya, hal ini terlihat jelas ketika kita dapat dengan mudah menemukan di lingkungan sekitar kita banyak sekali para perokok. Di kendaraan umum, di jalanan, di warung, di pasar, dan di tempat-tempat umum lainnya. Para perokok pun berasal dari berbagai macam usia, dari kalangan dewasa, pemuda dan bahkan anak-anak kecil pun sudah banyak yang mengenal rokok.
    Hal ini harusnya dapat menjadi perhatian kita semua, dengan melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari rokok itu sendiri. Polusi udara karena asapnya, banyaknya uang yang dibuang percuma hanya untuk membeli rokok dan lainnya.
    Namun di sisi lain, dari sisi ekonomi, negara menadapatkan jumlah income yang sangat besar dari rokok sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Para petani tembakau pun banyak yang menggantungkan nasibnya dari rokok.
    Karena iutulah hal ini menjadi sangat dilematis dan perdebatan panjang tentang hukum rokok masih belum memperlihatkan titik terang. Berita yang paling terkini adalah MUI yang berencana mengeluarkan fatwa bahwa rokok haram hukumnya setelah mempertimbangkan dan menganalisa dari berbagai macam aspek, namun karena berbagai kontroversi akhirnya fatwa tersebut tidaklah dikemundangkan.
    Makalah ini akan membahas tentang sejarah rokok, pendapat berbagai golongan Ulama mengenai hukum rokok beserta argumentasi-argumentasi yang mendukung pendapat mereka. Tanpa ada unsur menjustifikasi manakah dari pendapat-pendapat tersebut yang paling benar. Dan makalah ini menurut saya sudahlah sangat representatif sebagai bahan pertimbangan pembaca sekalian.


    1. SEJARAH BUDAYA ROKOK DI DUNIA ISLAM
    Tembakau atau rokok mulai nampak dan digunakan oleh sebagian penduduk dunia pada abad ke 10 Hijriah. Lima ratus tahun silam budaya merokok termasuk gejala yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendpati kebiasaan bangsa Aztec ini pada 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan derah Mediterania.
    Dunia Islam, pada saat itu berada dibawahkekhilafahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.
    Pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum meroko, adalah dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan ini. Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau nafas yang kurang sedap. Fakta ini kemudian dianalogikan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah SAW, yaitu larangan menadtangi masjid bagi orang-orang yanng habis makan bawang putih/bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya. Hadits mengenal hal ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, ra. Dimana Nabi bersabda, “Siapa yang makan dari tanaman ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami” (HR. Bukhari-Muslim).
    Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekedar menyebabkan bau nafas tak sedap tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas pada kesehatan manusia. Pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, p. 70 1989), namun masih butuh 350 tahun untuk membuktikan dugaan itu. Pada tahun 1985 sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan.

    2. BAHAYA MEROKOK
    Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Sanghai Cina adalah disebabkan rokok.
    Penelitian juga menyebutkan bahwa 20 batang rokok per hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah. Seandainya para kiyai mengetahui penelitian terakhir bahwa rokok mengandung kurang lebih 4.000 elemen-elemen dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, pastilah pandangan mereka akan berubah.
    Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
    Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko14 kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
    Penghisap rokok juga punya kemungkinan 4 kali lebih besar untuk terkena kanker esophagus dari mereka yang tidak menghisapnya. Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar terkena serangan jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
    Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama.

    HUKUM MEROKOK

    A. GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN
    Ulama yang mengharamkan merokok mengemukakan alasan dan dalil mereka sebagai berikut :
    1. Karena memabukkan
    Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa rokok itu memabukkan, sedangkan tiap-tiap yang memabukkan itu hukumnya haram. Yang dimaksud dengan muskir (memabukkan) menurut mereka ialah hanya sebatas tidak ingat. Mereka berkata: “tidak diragukan kondisi seperti ini dialami oleh orang-orang yang pertma kali melakukannya.”
    Sebagian dari mereka berkata, “Sudah dimaklumi bahwa orang yang mengisap rokok itu, bagaimanapun keadaannya, adalah memabukkan. Artinya, merokok bisa menjadikan pikiraanya kacau, menghilangkan pertimbangan akalnya, menjadikan nafasnya sesak dan dapat teracuni. Mabuk dalam hal ini bukan mabuk karena lezat, dan bukan pula karena menggigil.”
    2. Karena melemahkan daya tahan tubuh
    Kalaupun rokok itu tidak sampai memabukkan, minimal rokok dapat menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Dari Ummu Salamah ra., “Bahwa Rasulullah SAW melarang segala sesuatu yang memabukkan dan memahkan.”




    3. Menimbulkan Mudharat
    Mudharat yang mereka kemukakan disini terbagi menjadi dua macam :
    a. Dharari badani, (bahaya yang mengenai badan): menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, bahkan dapat menimbulkan penyakit paru-paru.
    Dalam konteks initepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan bertahap inilah yang lebih sering terjadi.
    b. Dharari mali (muharata pada harta), ysng dimaksud ialah bahwa merokok itu menghambur-hamburkan harta (tabdzir), yakni menggunakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan Nabi SAW telah melarang membuang-buang harta. Allah berfirman :
    “...........dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemnoros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Al-Isra : 26-27)

    Fatwa-Fatwa Haram Merokok
    Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
    Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Alquran dan As-Sunah serta i'tibar (logika) yang benar. Allah berfirman (yang artinya), "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan." (Al-Baqarah: 195).
    Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas adalah merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
    Sedangkan dalil dari As-Sunah adalah hadis shahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasian harta pada hal yang tidak bermanfaat, bahkan pengalokasian harta kepada hal-hal yang mengandung kemudharatan.
    Dalil yang lain, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340).
    Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari'at, baik bahayanya terhadap badan, akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
    Adapun dalil dari i'tibar (logika) yang benar yang menunjukkan keharaman rokok adalah karena dengan perbuatan itu perokok mencampakkan dirinya ke dalam hal yang menimbukan bahaya, rasa cemas, dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisinya, dan demikian sesaknya dada si perokok bila tidak menghisapnya. Alangkah berat ia melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu menghalagi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang saleh karena tidak mungkin mereka membiarkan asap rokok mengepul di hadapan mereka. Karena itu, Anda akan melihat perokok demikian tidak karuan bila duduk dan berinteraksi dengan orang-orang saleh.
    Semua i'tibar itu menunjukkan bahwa merokok hukumnya diharamkan. Karena itu, nasehat saya untuk saudara-saudara kaum muslimin yang masih didera oleh kebiasaan menghisap rokok agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk meninggalkannya. Sebab, di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan menghindari siksaan-Nya, semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkan hal tersebut.

    Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
    Rokok haram karena melemahkan dan memabukkan. Dalil nash tentang benda memabukkan sudah cukup jelas. Hanya saja, penjelasan tentang mabuk itu sendiri perlu penyesuaian.

    Ulama Mesir, Syria, Saudi
    Rokok haram alias terlarang, dengan alasan membahayakan. Di antara yang mendukung dalil ini adalah Syaikh Ahmad as-Sunhawy al-Bahuty al-Anjalaby dan Syaikh Al-Malakiyah Ibrahim al-Qaani dari Mesir, An-Najm al-Gazy al-Amiry as-Syafi’i dari Syria, dan ulama Mekkah Abdul Malik al-Ashami.

    Dr Yusuf Qardhawi
    Rokok haram karena membahayakan. Demikian disebut dalam bukunya ‘Halal & Haram dalam Islam’. Menurutnya, tidak boleh seseorang membuat bahaya dan membalas bahaya, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah. Qardhawi menambahkan, selain berbahaya, rokok juga mengajak penikmatnya untuk buang-buang waktu dan harta. Padahal lebih baik harta itu digunakan untuk yang lebih berguna, atau diinfaqkan bila memang keluarganya tidak membutuhkan.

    B. GOLONGAN YANG MEMAKRUHKAN
    Adapun golongan yang mengatakan bahwa merokok itu makruh mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut :
    1. Merokok itu tidak lepas dari dharar (bahaya), lebih-lebih jika terlalu banyak melakukannya. Sedangkan sesuatu yang sedikit itu bila diteruskan akan menjadi banyak.
    2. Mengurangkan harta. Kalau tidak sampai pada tingkat tabdzir, israf dan menghambur-hamburkan uang, maka ia dapat mengurangkan harta yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sahabatnya dan bagi orang lain.
    3. Bau dan asapnya mengganggu serta menyakiti orang lain yang tidak merokok. Segala sesuatu yang dapat menimbulkan hal seperti ini makruh menggunakannya, seperti halnya memakan bawang merah mentah, kucai dans ebagainya (yang baunya dapat menggangu orang lain).
    4. Menurunkan harga diri bagi orang yang mempunyain kedudukan sosial terpandang.
    5. Dapat melalaikan seseorang untuk beribadah secara seempurna.
    6. Bagi orang yang biasa merokok, akan membuat pikirannya kacau jika pada suatu saat ia tidak mendapatkan rokok.
    7. Jika perokok menghadiri suatu majelis, ia akan mengganggu orang lain, maka hendaklah ia malu melakukannya.
    Syekh Abu Sahal Muhammad bin Al-Wa’izh Al-Hanafi berkata : “Dalil-dalil yang menunjukkan kemakruhannya ini bersifat qath’i. Sedangkan yang menunjukkan keharamannya bersifat zhanni. Kemakruhan bagi perokok disebabkan menjadikan pelakunya hina dan sombong, memutuskan hak dan kers kepala. Selain itu, segala sesuatu yang baunya mengganggu orang lain adalah makruh, sama halnya dengan memakan bawang. Maka asap rokok yang memilki dampak negatif ini lebih utama untuk dilarang, dan perokoknya lebih layak dilarang masuk mesjid serta menghadiri pertemuan-pertemuan.
    C. GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN
    Golongan yang memperbolehkan merokok ini berpegang pada kaidah bahwa asal segala sesuatu itu boleh, sedangkan anggapan bahwa rokok itu memabukkan atau menjadikan lemah itu tidak benar. Iskar (memabukkan), menurut mereka, berarti hilangnya akal tetapi badan masih dapat bergerak, dan takhdir ialah hilangnya akal disertai keadan badan yang lemah dan loyo. Sedangkan kedua hal ini tidak terjadi pada orang yang merokok.
    Syekh Musthafa As-Sayuti Ar-Rabbani, pensyarah kitab Ghayatul Muntaha fi Fiqhil Hanabilah, berkata :
    “Setiap orang yang mengerti dan ahli tahqiqi yang mengerti tentang pokok-pokok Agama dan cabang-cabangnya yang mau bersikap objektif apabila sekarang ia ditanya tentang hukum merokok – setelah rokok dikenal banyak orang serta banyaknya angggapan yang mengatakan bahwa rokok dapat membahayakan akal dan badan – niscaya ia akan memperbolehkannya. Sebab asal segala sesuatu yang tidak membahayakan dan tidak da nash yang mengharamkannya adalah halal dan mubah, sehingga ada dalil syara’ yang mengharamkannya. Para muhaqqiq yang telah sepakat berhukum kepada akal dan pendapat tanpa sandaran syara’ adalah batal.”
    Dan kaidah yang mereka ungkapkan untuk menguatkan bahwa hukum merokok adalah boleh yaitu :
    الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءُ الإِبَاحَةُ إلاَّ مَانَصَّ الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ

    Ushul Fiqh

    HUKUM SYARA`

    A. Pengertian Hukum Syara’
    Hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata “syara’”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara etomologi berarti “memutuskan”, “menetapkan dan menyelesaikan. Kata hukum dan kata lain yang berakar kepada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat al-Qur’an ; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
    Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata hukum itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah : Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluiruh anggotannya.
    Kata syara’ secara etimologis berarti : jalan, jalan yang biasa dilalui air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti ketentuan Allah. Dalam al-Qur’an terdapat 5 kali disebutkan kata “syara” dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.
    Bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu “hukum syara” akan berarti : Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semuia umat yang beragama Islam.
    Ahli fiqh memberikan definisi hukum syara’ sebagai berikut : Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu. Dalam bentuk ini yang disebut hukum syara’ adalah “wajibnya shalat” sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat; atau haramnya memakan harta orang secara bathil sebagai akibat dari larangan Allah memakan harta orang secara bathil.


    B. Pembagian Hukum Syara’
    Bertitik tolak dari definisi hukum syar’i diatas yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum syara’ itu terbagi dua:

    1. Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan , yang disebut hukum taklifi. Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang suidah mukallaf.
    2. Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan allah, tidak langsung mengatur perbuatan mkallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.

    C. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
    Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi: pertama, bentuk-bentuk hukum taklif menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu iajb, nadb, ibadah, karahan, dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi, seperti iftirad, ijab, nabd, ibadah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyah dan tahrim.

    Bentuk Pertama
    a. Ijab
    Yaitu tuntutan Syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dean tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat an-Nur: 56
       •    
    Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.



    Dalam ayat ini, allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dn membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan denganm perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh karena itu, istilah ijab, menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khitab (tuntutan) Allah, yaitu ayat diatas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang deituntut oleh khithab Allah.
    b. Nadb
    Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah :282, Allah SWT. Berfirman:

              
    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya.
    Lafal faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah :283)

             ….
    Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya ….




    Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang piutang disebut manduib, dan akibat dari tuntutan Allah diatas disebut nadb.
    c. Ibahah
    Yaitu khithab yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al- Maidah : 2


    …  
    Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu…..
    Ayat ini juga menggunakan lafal amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah., dan akibat dari khithab ini, juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
    d. Karahah
    Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenal hukuman. Akibat tuntutan seperti ini disebut juga Karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadist Nabi Muhamad SAW. :
    “perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.”
    (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
    Khithab hadis ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh.

    e. Tahrim
    Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbutan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am : 151 :

       •   
    Artinya :
    “….jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah….”(QS. Al-An’am :151)
    Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.
    Perbedaan istilah-istilah yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqih dalam hukum taklifi ini, seperti untuk yang sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujud, dan wajib, dan lainya, disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Apabila khithab (ayat) tersebut dilihat dari sisi Allah sebagai penuntut, maka ayat yang mewajibkan salat dan zakat itu disebut ijab. Apabila ayat itu dilihat dari sisi mukallaf yang dituntut untuk melaksanakanya, maka tuntutan shalat dan zakat itu disebut wujud. Sedangkan istilah wajib, merupakan sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah. Namun demikian, istiah-istilah tersebut (wujud, wajib, tahrim, hurmah, haram, dan sebagainya), merupakan tuntutan Syar’I (Allah dan Rasul-Nya).

    Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyyah :
    a) Iftirad
    Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang qath’i. misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadis yang mengandung tuntutan mendirukan shalat dan membayar zakat sifatnya adalah qath’i


    b) Ijab
    Yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relatif benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fitrah, membaca Al-fatihah dalam shalat, dan ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib dilaksanakan, tetapi kewajibanya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
    c) Nadb
    Maksudnya sama dengan nadb yang dikemukakan Jumhur ulama Ushul Fiqih/ mutakallimin.
    d) Ibahah
    Juga sama dengan yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqih/ mutakallimin.
    e) KarahahTanzihiyyah
    Yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk meninggalkan suatu pekerrjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya, larangan berpuasa pada hari Jum’at. Karahah Tanzihiyyah dikalangan Hanafiyyah, sama pengertiannya dengan karahah dikalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh/ mutakallimin.
    f) Karahah Tahrimiyyah
    Yaitu tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan, maka ia dikenakan hukuman. Hukuman ini sama saja dengan haram yang dikemukakan Jumhur ulama Ushul Fiqih.
    g) Tahrim
    Yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatau pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang (Q.S Al-Isra :23 ) dan berbuat zina (Q.S. Al-Nur :2)

    D. Hukum-Hukum Menurut Fuqaha
    Hukum-hukum menurut fuqaha adalah dampak dari tuntutan khithab tasy’ri, seperti wajib, haram, makruh, sunah, dan mandub.
    1. Wajib dan pembagiannya
    Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
    Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan perbuatan yang dituntut, terbagi dua, yaitu : wajib muthlaq dan wajib mu’akkad :
     Wajib muthlaq yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Umpamanya mengqadha puasa ramadhan yang tertinggal karena uzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
     Wajib muakkad yaitu kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan itu. Wajib muakkad ini dari segi rentang waktu yang disediakan terbagi kepada tiga, yaitu, muwassa, mudhayyaq dan dzu syahbaini.

    2. Mandub
    Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi tiga macam, yaitu:
     Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
    Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Diantaranya adalah salat-salat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan salat lima waktu (salat fardu), seperti salat sunah dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum dan sesudah zduhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu, adzan, berjama’ah, dan lain-lain.
     Sunah ghairu al-muakkad (sunah biasa)
    Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar’i, seperti bersedekah, salat sunah dhuha dan puasa hari senin dan kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh, disyari’atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW.
     Sunah al-Za’idah (sunah yang bersifat tambahan)
    Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW. Sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah za’idah.

    3. Haram
    Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Apabila keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, maka disebut dengan haram li dzatih. Dan apabila terkait dengan sesuatu yang diluar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan, maka disebut haram li ghairih.

    4. Makruh
    Ulama Hanafiyyah, membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
     Makruh tanzih
    Yaitu sesuatu yang dituntut Syar’i untuk ditingglkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama Hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh dikalangan Jumhur ulama. Misalnya, memakan daging kuda.
     Makruh tahrim
    Yaitu tuntutan Syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki.



    5. Mubah
    Pembagian mubah menurut ulama Ushul fiqih dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu :
     Mubah yang apabila dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
     Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini diantaranya, melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang bias meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah.
     Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Contoh untuk kategori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan haram sebelum Islam, seperti mengawini istri bekas ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian dating syariat Islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya sebelum Islam dimaafkan. Dalam kaitan dengan ini Allah berfirman (Q.S. An-Nisa :22)

    E. Perbedaan Hukum Taklif dengan Hukum Wadh’i
    Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadh’i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas, adalah :
    1) Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bias dijadian sebab, penghalang atau syarat.
    2) Hukum at-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
    3) Hukum at-taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum at-taklif tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wad’I hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena kesulitan dan kesempitan adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan).
    4) Hukum at-taklif ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum al-wadh’I ditujukan kepada manusia saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.

    F. Pembuat Hukum (Hakim)
    Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam. Masalahnya adalah Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, dalam hal ini adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

     Pendapat mayoritas ulama ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan allah kepadanya. Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum allah, dan manusia pun tidak akan mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang Rasul.
     Kalangan ulama kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah adalah satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum Allah itu. Atas dasar pendapat ini, maka sebelum kedatangan Rasul pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada Allah dan telah dianggap berhak mendapat balasan (pahala dan dosa).

    G. Objek Hukum (Mahkum Bih)
    Yang dimaksud dengan objek hukum ialah sesuatu yang dikehendakiu oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak
    Para ahli Ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
     Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”
     Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
     Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.

    H. Subjek Hukum (Mahkum Alaih)
    Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Syarat taklif atas subjek hukum yaitu :
     Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami.
     Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
    METODE ISTIMBATH HUKUM SYARA`


    Istimbath adalah cara penggalian dan penetapan hukum-hukum syara yang berasal dari nash Al-qur`an dan Hadits,sehingga hukum – hukum tersebut bisa dipahami dan diterapkan oleh si mukallaf (subjek hukum), dalam kaitannya dengan kajian istimbath hukum ini dikenal dua cara atau metode Istimbath yang biasa dilakukan para ulama dalam proses penggalian dan penerapan hukum, yaitu :

    1. Metode Pendekatan Kaidah-kaidah Tasyriiyyah (القواعد التشريعية) yaitu suatu metode penetapan dan penggalian hukum hukum syara yang berdasarkan pada kajian dari segi ruh atau semangat ajarannya (مقا صد الشرعي), yang bertujuan untuk memenuhi tuntutan hukum bagi semua peristiwa yang terjadi sebagai akibat majunya perkembangan zaman, yang dalam hal ini nash al-qur`an maupun hadits tidak menjelaskan secara detail hukum bagi semua peristiuwa-peristiwa tersebut. Kadang untuk menentukan hukum suatau peristiwa diperlukan pemikiran yang mendalam atas Ruh al Nushush al Tasryriiyah, sehingga tersingkap rahasia dan tujuan hukum dari hukum syara yang ditetapkan Allah bagai kemaslahatan hambanya.
    Adapun yang termasuk dalam metode ini adalah kajian tentang al-qiyas, Istihsan, al mashalih mursalah,al-adah,syar`u man qablana,al-istishab,madzhab sahabi dan lain-lain.
    Dari kajian metode ini lahirlah kaidah-kaidah fiqhiyah (القواعد الفقهية)
    2. Metode pendekatan Kaidah-kaidah Kebahasaan (القواعد اللغوية ) yyaitu suatu metode istimbath yang mengkaji nash al-qur`an maupun hadits dari segi pemahaman atas lafad-lafadnya,Uslub,susunan kata , makna yang ada pada nash al-qur`an maupun hadits yang kemudian dijadikan kaidah-kaidah pokok kebahasaan yang akan dijadikan dasar dalam rangka melakukan Istimbath.
    Sebagaiman kita ketahui bahwa hukum syara tidaklah menjelaskan atau mengatur kaidah-kaidah tentang kebahasaan ,akan tetapi para ulamalah (ushul fiqh) yang meneliti dan menetapkannya. Seperti menetapkan bahwa didalam nash terdapat lafadz yang jelas dan tidak jelas maknanya, adanya dilalah lafadz, lafad Amm dan Khas, mutlak dan muqayyad nahy, Amr dan lain sebagainya .
    Dalam Istimbath hukum syara penggunaan metode kebahasaan ini sangat diperlukan sekali, karena hampir 80 % pelaksanaan Istimbath hukum syara pada nash berkaitan atau berhubungan dengan permasalahan lafadz-lafadz, yang dalam hal ini kajian terhadap lafadz tersebut haruslah jelas dan tegas dalam penunjukkan makna dan hukumnya sehingga tidak membingungkan atau menyulitkan para pelaku hukum dalam memahaminya . Dan juga karena Nash al-Qur`an dan hadits seluruhnya berbahasa arab, maka pemahaman hokum dari keduanya akan mudah dipahami, apabila diperhatikan dan dimengerti bahasanya.
    Dari kajian metode ini lahirlah kaidah-kaidah Ushuliyah(القواعد الاصولية)

    Senin, 09 November 2009

    Perkawinan di Bawah Tangan

    Perkawinan di Bawah tangan dan dampaknya
    Dampak tinggalan budaya perkawinan bawah tanggan atau istilahnya nikah sirri (kawin siri’) di Kecamatan Rembang membuat susah sebagian masyarakatnya untuk mendapat hak kependudukan. Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan.

    Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).\

    Di beberapa daerah masih banyak yang melakukan hal tersebut. Namun intensitasnya tidak begitu banyak seperti dulu. “Dulu jaman buyut-buyut, nenek, orang tua saya menikah memang secara sirri’ hampir seluruh penduduk desa,”papar ibu-ibu IKK berbarengan.

    Kebanyakan, menurut pengakuan ibu-ibu IKK, yang melakukan nikah sirri’ menikah awalnya lewat KUA ketika masih gadis dan umumnya berusia muda. Lalu karena ketidakcocokan dalam rumah tangga maka tingkat perceraian tinggi. “Ya namanya masih muda, usia dini nggak ngerti apa-apa jadi isinya rumah tangga tengkar selalu. Terus cerai baru nikah kedua…ketiga dst nikah sirri begitu,”papar Atiyah anggota IKK.

    Tidak dipungkiri, dogma agama yang kuat dalam kehidupan masyarakatnya membuat masyarakatnya mematuhi ajaran yang diberikan oleh tokoh agama. Stigma anak durhaka jika tidak menurut orang tua bila menolak dinikahkan sangat lekat pada masyarakat. Ditambah budaya masyarakat bahwa menikah usia 17 dianggap tidak “laku” atau nggak payu sehingga akan menjadi omongan di lingkungan sekitarnya.”Ya nanti diomong sama tetangga-tentangga kalau nikah sudah umur 17 tahun dibilang perawan tuwek, nggak payu jadinya saya malu kasihan juga orang tua ikut malu,”kata Umi Hanik juga anggota IKK.

    Bagaimana Sistem Hukum Indonesia Memandang?

    Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.

    Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.

    Dampak Dari Perkawinan Bawah Tangan

    Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah; tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.

    Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

    Selain itu ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
    Sedangkan terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya.

    Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.


    Itsbat Nikah Sebuah Solusi

    Apa yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan sudah terjadi? Bagi yang beragama Islam ada beberapa solusi seperti itsbat nikah.
    Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7).
    Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
    Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.
    Jangan lupa, bila telah memiliki Akte Nikah harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
    Cara kedua adalah dengan melakukan perkawinan ulang. Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan.
    Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

    Minggu, 01 November 2009

    Cara Bijak mengendalikan Amarah

    Marah adalah bagian dari emosi manusia dan sudah merupakan kodrat, sejauh amarah itu dalam batas yang normal itu adalah hal yang manusiawi, namun ketika amarah itu sudah berada di luar kontrol, ia merupakan energi yang akan merusak pribadi manusia itu sendiri. Mrah yang diluar kontrol dapat mendatangkan berbagai masalah atau persoalan di tempat kerja, di rumah, dilingkungan bertetangga bahkan di seluruh sendi kehidupan kita. Menurut analisis Charles Spielberger, ketika kita marah detak jantung dan tekanan darah akan memacu dengan cepat, begitu juga dengan hormon adrenalin kita akan langsung meningkat yang hal ini sangat beresiko pada kesehatan orang tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini penting sekali kita bisa mengendalikan amarah.
    di bawah ini ada beberapa tip yang mungkin bisa anda coba untuk dapat mengendalikan amarah :
    1. ketika anda marah tariklah nafas dalam-dalam dari diafragma (rongga yang ada didalam perut) bukan dari dada, kemudian ucapkan kata-kata "sabar / tenang " beberapa kali sambil menghembuskan nafas perlahan-lahan, ulang beberapa kali.
    2. bayangkan sessutau yang dapat menyenangkan pikiran anda,agar otot-otot dapat berelaksasi.
    3. bila anda marah dalam keadaan berdiri segeralah duduk agar emosi tidak meningkat.
    4. ambillah air Wudlu agar hati anda menjadi tenang, dingin dan fress
    5.bicarakan persoalan yang membuat anda marah dengan tenang dan baik-baik
    Selamat mencoba !!!!!
    Ingat " Bahwasanya Amarah itu selalu mendorong kita pada hal -hal yang bersifat Negatif" maka kendalikanlah. wassalam

    PRO KONTRA POLIGAMI

    Begitu riuhnya masalah poligami akhir-akhir ini di bicarakan, seiring dengan munculnya klub poligami yang di deklarasikan beberapa orang, hal ini membuat kaum perempuan merasa terombang-ambing , bingung harus berada di barisan mana?
    Hukum islam bertujuan memelihara lima urusan pokok yaitu : Agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan dan harta , kalau dengan melakukan poligami dapat memelihara ke 5 hal tadi, kenapa tidak ?tapi jika ternyata dengan poligami akan merusak yang 5 tadi, maka hal ini sangat bertentangan dengan maqashid syar`i itu sendiri. jadi intinya pertimbangkanlah baik-baik sebelum melakukan poligami, apakah akan mendatangkan kemaslahatan atau sebaliknya justru kemadhorotan yang tidak di inginkan oleh agama.