• Web
  • Blog Anda
  • Senin, 19 Desember 2011

    SOAL UTS FIQH ZAKAT STEI
    1 .Apa yang anda ketahui tentang pengertian zakat secara bahasa dan istilah, jelaskan disertai dengan dalil tentang pengertian tersebut !
    2. zakat secara umum dibagi zakat fitrah dan zakat maal, jelaska nmaksudnya, dan zakat maal apa saja yang wajib dizakati, jelaskan !
    3.dalam pendistribusian zakat saat ini kepada mustahik zakat ,dikenal ada istilah pendistribusian secara konsumtif dan produktif, jelaskan maksudnya disertai contoh masing –masing !
    4. jelaskan perkembangan zakat masa rasulullah dan masa sahabat,!
    5. jelaskan kriteria dari harta-harta yang wajib dizakati

    JAWABAN DIKIRIM KE Email :Shodikin73@yahoo.co.id

    1. jawaban di tunggu satu minggu dari sekarang
    2. bagi yang sudah ngirim jawabannya harap konfirmasi lewat hp/sms

    Minggu, 21 Agustus 2011

    Penetapan 1 Syawal Berpotensi Berbeda

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perayaan 1 Syawal 1432 H berpotensi berbeda. Perbedaan itu dipicu oleh penggunaan kriteria hilal yang barbeda sebagai acuan penetapan awal bulan tersebut.

    Hal ini disampaikan oleh peneliti senior Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin kepada Republika di Jakarta, Ahad (21/8)

    Bagi kalangan yang menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk dengan prinsip wilayatul hukmi Indonesia), maka dipastikan Idul Fitri jatuh pada tanggal 30/8 .

    Namun, bagi kalangan yang memakai kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat), maka besar kemungkinan berhari raya pada 31/8. Pasalnya, ketinggian bulan pada 29/8 kurang dari 2 derajat sehingga tak memungkinkan hilal terlihat dengan mata telanjang.

    Sementara, batas bulan menurut kriteria tersebut mesti berada pada di atas 2 derajat. “Jadi berpotensi berbeda,” katanya. Perbedaan itu, kata Thomas, tidak mustahil akan terulang di masa mendatang selama tidak ada kesepakatan tentang kriteria itu.

    Minggu, 14 Agustus 2011

    Orang-orang yang boleh tidak berpuasa

    Golongan manusia di bulan Ramadhan dapat dibagi menjadi tiga golongan: [1] Golongan yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa, [2] Golongan yang wajib tidak berpuasa, dan [3] Golongan yang wajib berpuasa.

    GOLONGAN YANG BOLEH BERPUASA DAN BOLEH TIDAK BERPUASA

    Pertama: Orang sakit

    Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.

    Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

    Untuk orang sakit ada tiga kondisi:

    Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

    Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

    Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

    Kedua: Orang yang bersafar

    Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.

    Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

    Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.

    Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.

    Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

    Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

    Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.

    Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

    Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

    Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

    Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh

    Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho bagi mereka. Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

    Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

    Cara menunaikan fidyah

    Adapun ukuran fidyah adalah setengah sho’ kurma, gandum atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ no. 2772, 2503, 2689). Sedangkan ukuran satu sho’ adalah sekitar 2,5 atau 3 kg. Jika kita ambil satu sho’ adalah 3 kg (untuk kehati-hatian) berarti ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 kg. Cara menunaikannya adalah:

    Pertama, memberi makanan pokok tadi kepada orang miskin. Misalnya memiliki utang puasa selama 7 hari. Maka caranya adalah tujuh orang miskin masing-masing diberi 1,5 kg beras.

    Kedua, membuat suatu hidangan makanan seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya. Setelah itu orang-orang miskin diundang dan diberi makan hingga kenyang. Misalnya memiliki 10 hari utang puasa. Maka caranya adalah sepuluh orang miskin diundang dan diberi makanan hingga kenyang. Bahkan lebih bagus lagi jika ditambahkan daging, dll. (Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majelis Syahri Ramadhan dan beberapa fatwa beliau)

    Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

    Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

    Namun apakah mereka memiliki kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.

    Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)

    Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.

    GOLONGAN YANG WAJIB TIDAK BERPUASA

    Pertama, Wanita yang Mengalami Haidh dan Nifas

    Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak sah untuk berpuasa dan mereka haram untuk puasa. Dan setelah kembali suci, dia wajib mengqodho puasanya.

    Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ketika haidh, wanita itu tidak shalat dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 1951). ‘Aisyah mengatakan, “Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.” (HR. Muslim no. 335)

    Bagaimanakah Puasa untuk Wanita Istihadhoh (Darahnya bukan darah haidh dan nifas, namun darah yang tidak normal)? Wanita istihadhoh tetap memiliki kewajiban berpuasa, begitu pula shalat berdasarkan kesepakatan para ulama.

    Kedua, Orang yang khawatir jika berpuasa dirinya akan mati. Orang seperti ini wajib tidak puasa.

    GOLONGAN YANG WAJIB BERPUASA

    Yaitu setiap muslim, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.

    Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. [Sumber Rujukan: Shahih Fiqih Sunnah, Al Mughni, dll. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

    Macam-Macam Puasa


    Menurut para ahli fiqih, puasa yang ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa fardhu, puasa sunnat, puasa makruh dan puasa yang diharamkan.

    A. PUASA FARDHU

    Puasa fardhu adalah puasa yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam. Yang termasuk ke dalam puasa fardhu antara lain:

    a. Puasa bulan Ramadhan

    Puasa dalam bulan Ramadhan dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut :

    - yâ ayyuhal-ladzîna âmanûkutiba ‘alaykumush-shiyâmu kamâ kutiba ‘alal-ladzîna min qoblikum la’allakum tattaqûn –

    Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu terhindar dari keburukan rohani dan jasmani (QS. Al Baqarah: 183).

    - syahru Romadhônal-ladzî unzila fîhil-qurânu hudal-lin-nâsi wa bayyinâtim-minal-hudân wal-furqôn(i). Faman syahida min(g)kumusy-syahro falyashumh(u). wa man(g) kâna marîdhon aw ‘alâ safari(g) fa’iddatum-min ayyâmin ukhor. Yurîdullohu bikumul-yusro wa lâ yurîdu bikumul-‘usro wa litukmilul-‘iddata walitukabbirulloha ‘alâ mâ hadâkum wa la’allakum tasykurûn -

    “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqoroh: 185)

    b. Puasa Kafarat

    Puasa kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk pelanggaran dengan kafaratnya antara lain :

    1. Apabila seseorang melanggar sumpahnya dan ia tidak mampu memberi makan dan pakaian kepada sepuluh orang miskin atau membebaskan seorang roqobah, maka ia harus melaksanakan puasa selama tiga hari.
    2. Apabila seseorang secara sengaja membunuh seorang mukmin sedang ia tidak sanggup membayar uang darah (tebusan) atau memerdekakan roqobah maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut (An Nisa: 94).
    3. Apabila dengan sengaja membatalkan puasanya dalam bulan Ramadhan tanpa ada halangan yang telah ditetapkan, ia harus membayar kafarat dengan berpuasa lagi sampai genap 60 hari.
    4. Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan umrah, lalu tidak mendapatkan binatang kurban, maka ia harus melakukan puasa tiga hari di Mekkah dan tujuh hari sesudah ia sampai kembali ke rumah. Demikian pula, apabila dikarenakan suatu mudharat (alasan kesehatan dan sebagainya) maka berpangkas rambut, (tahallul) ia harus berpuasa selama 3 hari.

    Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi:

    Orang yang berpuasa berturut-turut karena Kafarat, yang disebabkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, ia tidak boleh berbuka walau hanya satu hari ditengah-tengah 2 (dua) bulan tersebut, karena kalau berbuka berarti ia telah memutuskan kelangsungan yang berturut-turut itu. Apabila ia berbuka, baik karena uzur atau tidak, ia wajib memulai puasa dari awal lagi selama dua bulan berturut-turut.[1]

    c. Puasa Nazar

    Adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw., melainkan manusia sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk membersihkan (Tazkiyatun Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa apabila Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan berpuasa sekian hari. Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari nazar yang ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi wajib atasnya dan apabila dia pada hari-hari itu sakit atau mengadakan perjalanan maka ia harus mengqadha pada hari-hari lain dan apabila tengah berpuasa nazar batal puasanya maka ia bertanggung jawab mengqadhanya.

    B. PUASA SUNNAT

    Puasa sunnat (nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain :

    1. Puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal

    Bersumber dari Abu Ayyub Anshari r.a. sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda: “ Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian dia menyusulkannya dengan berpuasa enam hari pada bulan syawal , maka seakan – akan dia berpuasa selama setahun”.[2]

    2. Puasa Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qomariyah

    Pada suatu hari ada seorng Arabdusun datang pada Rasulullah saw. dengan membawa kelinci yang telah dipanggang. Ketika daging kelinci itu dihidangkan pada beliau maka beliau saw. hanya menyuruh orang-orang yang ada di sekitar beliau saw. untuk menyantapnya, sedangkan beliau sendiri tidak ikut makan, demikian pula ketika si arab dusun tidak ikut makan, maka beliau saw. bertanya padanya, mengapa engkau tidak ikut makan? Jawabnya “aku sedang puasa tiga hari setiap bulan, maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih setiap bulan”. “kalau engkau bisa melakukannya puasa tiga hari setiap bulan maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih yaitu pada hari ke tiga belas, empat belas dan ke lima belas.[3]

    3. Puasa hari Senin dan hari Kamis.

    Dari Aisyah ra. Nabi saw. memilih puasa hari senin dan hari kamis. (H.R. Turmudzi)[4]

    4. Puasa hari Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji)

    Dari Abu Qatadah, Nabi saw. bersabda: “Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang tekah lalu dan satu tahun yang akan datang” (H. R. Muslim)[5]

    5. Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharam.

    Dari Salim, dari ayahnya berkata: Nabi saw. bersabda: Hari Asyuro (yakni 10 Muharram) itu jika seseorang menghendaki puasa, maka berpuasalah pada hari itu.[6]

    6. Puasa nabi Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka)

    Bersumber dari Abdullah bin Amar ra. dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa yang paling disukai oleh Allah swt. ialah puasa Nabi Daud as. sembahyang yang paling d sukai oleh Allah ialah sembahyang Nabi Daud as. Dia tidur sampai tengah malam, kemudian melakukan ibadah pada sepertiganya dan sisanya lagi dia gunakan untuk tidur, kembali Nabi Daud berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.”[7]

    Mengenai masalah puasa Daud ini, apabila selang hari puasa tersebut masuk pada hari Jum’at atau dengan kata lain masuk puasa pada hari Jum’at, hal ini dibolehkan. Karena yang dimakruhkan adalah berpuasa pada satu hari Jum’at yang telah direncanakan hanya pada hari itu saja.

    7. Puasa bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci

    Dari Aisyah r.a berkata: Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami mengatakan: beliau tidak berbuka. Dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan: beliau tidak berpuasa. Saya tidaklah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan. Dan saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada puasa di bulan Sya’ban.[8]

    C. PUASA MAKRUH

    Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain :

    1. Puasa pada hari Jumat secara tersendiri

    Berpuasa pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri. Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa.

    Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum’at, melainkan bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” [9]

    2. Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan

    Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka berpuasalah hari itu.”[10]

    3. Puasa pada hari syak (meragukan)

    Dari Shilah bin Zufar berkata: Kami berada di sisi Amar pada hari yang diragukan Ramadhan-nya, lalu didatangkan seekor kambing, maka sebagian kaum menjauh. Maka ‘Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa hari ini maka berarti dia mendurhakai Abal Qasim saw.[11]

    D. PUASA HARAM

    Puasa haram adalah puasa yang dilarang dalam agama Islam. Puasa yang diharamkan. Puasa-puasa tersebut antara lain:

    a. Puasa pada dua hari raya

    Dari Abu Ubaid hamba ibnu Azhar berkata: Saya menyaksikan hari raya (yakni mengikuti shalat Ied) bersama Umar bin Khattab r.a, lalu beliau berkata:”Ini adalah dua hari yang dilarang oleh Rasulullah saw. Untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kamu semua berbuka dari puasamu (1 Syawwal) dan hari yang lain yang kamu semua makan pada hari itu, yaitu ibadah hajimu.[12](Shahih Bukhari, jilid III, No.1901)

    b. Puasa seorang wanita dengan tanpa izin suami

    Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada di rumah, di suatu hari selain bulan Ramadhan, kecuali mendapat izin suaminya.”[13](Sunan Ibnu Majah, jilid II, No.1761)
    ——————

    Catatan kaki

    [1] Muhammad Jawad Mughnoyah, FIQIH LIMA MAZHAB, cet vii, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001, hlm.167

    [2] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm.406, Bab sunnah hukumnya berpuasa enam hari pada bulan syawal mengiringi bulan Ramadhan, Hadits No.204

    [3] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 699, Bab berpuasa tiga hari dalam sebulan, Hadits No.2380

    [4] Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. (?) Bab (?) Hadits No. 43

    [5] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm. 407, Bab sunah berpuasa tiga hari setiap bulan, berpuasa di hari arafah, berpuasa pada hari Asy Syura dan berpuasa pada hari senin dan kamis, Hadits No.197

    [6] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm. 161, Bab puasa asy syura, No. Hadits1909

    [7] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm. 394-395, Bab sunah berpuasa tiga hari setiap bulan, berpuasa di hari arafah, berpuasa pada hari Asy Syura dan berpuasa pada hari senin dan kamis, Hadits No. 188

    [8] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm. 141-142, Bab Puasa dalam bulan Sya’ban, Hadits No. 1880

    [9] ibid, hlm.(?), Bab Puasa pada hari Jum’at, No Hadits 1896

    [10] ibid, hlm.100, Bab salah seorang daripada kamu janganlah mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, No Hadits 1830

    [11] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II, Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hlm.441, Bab Puasa di Hari syak, Hadits No. 1645

    [12] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa, 1993, hlm. 157, Bab Puasa pada hari Idul Fitri, Hadits No. 1901

    [13] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II, Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hlm.522, Bab wanita yang berpuasa mendapat izin suami, Hadits No. 1761

    Senin, 01 Agustus 2011

    Berbuka Puasa

    Bulan Ramadhan adalah bulan kebaikan dan keberkahan. Allah سبحانه وتعلى memberkahi hamba-hambaNya di bulan ini dengan banyak keutamaan dan diantara keutamaan yang Allah سبحانه وتعلى berikan bagi orang yang berpuasa adalah ketika ia berbuka puasa.



    Keutamaan Berbuka Puasa
    1. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan
    Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


    لاَ يَزَالُ الـنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ



    “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Diriwayatkan bahwa Abu Athiyah dan Masruq رحمهما الله datang menemui Aisyah رضي الله عنها untuk meminta pen-dapat beliau, ia (Abu Athiyah) berkata :


     دَخَلْتُ أَنــــَا وَمَسْرُوقٌ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْنــَا يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّد
    أَحَدُهُمَا يُــعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيـُــعَجِّلُ الصَّلاَةَ وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيـُــؤَخِّرُ الصَّلاَةَ قَالَتْ أَيــُّــهُمَا الَّذِي يُــعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ الصَّلاَةَ قَالَ قُلْــنَا عَبْدُ اللهِ يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ قَالَتْ كَذَلِكَ كَانَ يَصْــنَعُ رَسُولُ اللهِ



    “Saya menenui Aisyah bersama dengan Masruq, maka kami berkata : “Wahai Ummul Mu’minin (bagaimana pendapat anda dengan) dua orang dari shahabat Muhammad صل اللة عليه وسلم yang salah satu dari mereka mempercepat berbuka puasa dan mempercepat (waktu) shalat, sedang yang lainnya mengakhirkan berbuka puasa dan mengakhirkan shalat ?”, maka ia (Aisyah) bertanya : “Siapa diantara keduanya yang mempercepat berbuka puasa dan mempercepat (waktu) shalat (Maghrib)?” kami menjawab :”Abdullah yaitu bin Mas’ud”, maka ia berkata : “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah ” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Abu Daud)

    2. Berbuka puasa adalah salah satu dari dua kegembiraan
    Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     لِلصَّــائِمِ فَرْحَــتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبــَّــهُ 



    “Seorang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabbnya” (HR. Bukhari)

    Seorang yang berpuasa mendapatkan kegembiraan ketika berbuka, dikarenakan ia telah menyempurnakan puasanya dan telah menyelesaikan ibadahnya serta telah mendapatkan keringanan dari Tuhannya sebagai pertolongan baginya untuk berpuasa pada hari berikutnya (Lihat Tuhfathul Ahwadzi 3:396)

    3. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
    Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ الــنَّـاسُ الْفِطْرَ ِلأَنَّ الْــيَـهُودَ وَالـنَّصَارَى يُــؤَخِّرُونَ 



    “Agama ini akan senantisa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya” (HHR. Abu Daud)

    Orang Yahudi dan Nashrani mereka mengakhirkan berbuka hingga munculnya bintang-bintang, sebagaima-na yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


     لاَ تَزَالُ أُمـَّـتِيْ عَلَى سُــنَّتِيْ مَا لَمْ تَــنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا الــنُّـجُوْمَ 



    “Ummatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka” (HSR. Ibnu Hibban)

    Berkata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani رحمه الله : “Telah berkata Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm : “Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan yang disunnahkan dan mengakhirkannya bukanlah perbuatan yang diharamkan kecuali apabila menganggap bahwa mengakhirkan berbuka puasa terdapat di dalamnya keutamaan” (Lihat Fathul Bari 4:199)

    Waktu berbuka
    Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam berbukalah orang yang berpuasa, Allah صلى الله عليه وسلم berfirman :


    ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّــيْلِ البقرة : 187



    “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al Baqarah : 187)
    Dari Umar رضي الله عنه ia berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     إِذَا أَقْبَلَ اللَّــيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبــَرَ الـنَّـــهَارُ مِنْ هَا هُــنَا وَغَرَبــَتْ الشَّــمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّــائِمُ



    “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan matahari telah terbenam maka berbukalah orang yang berpuasa” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Berbuka dengan apa ??
    Disunnahkan untuk berbuka dengan ruthab (kurma muda yang matang sebelum menjadi tamr) jika tidak ada maka dengan tamr (kurma matang) dan jika tidak ada maka dengan air, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata :


     كَانَ رَسُولُ اللهِ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَـبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبـَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ 



    “Adalah Rasulullah berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum melaksanakan shalat, jika tidak ada ruthab maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering) dan jika tidak ada tamr maka beliau minum dengan satu tegukan air” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

    Hadits di atas juga merupkan dalil tentang disunnahkannya berbuka puasa sebelum shalat magrib. Berkata Anas bin Malik : “Saya tidak melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaksanakan shalat hingga beliau berbuka puasa walaupun hanya dengan seteguk air” (R. Ibnu Abdil Barr)

    Imam Asy Syaukani dan lainnya berkata: ”Disyariatkannya berbuka puasa dengan korma di karenakan korma mempunyai rasa yang manis dan semua yang manis-manis dapat memperkuat penglihatan yang sempat melemah ketika berpuasa, ….dan apabila sebab disyariatkannya berbuka dengan korma tersebut adalah rasa manis dan karena rasa manis itu mempunyai pengaruh bagi badan maka hal tersebut tentu juga terdapat pada semua jenis makanan yang manis-manis” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 3:311)

    Do’a berbuka puasa
    Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki waktu yang istijabah yang mana apabila ia berdo’a pada saat itu maka Allah akan mengabulkannya yaitu ketika berbuka puasa. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ 



    “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki do’a yang tidak tertolak (yaitu) ketika berbuka” (HHR. Ibnu Majah)

    Adapun yang dibaca sebelum berbuka puasa adalah membaca basmalah yaitu “Bismillah”, hal ini berdasarkan beberapa dalil umum, diantaranya :

    1. Perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم
    Diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّـا يَلــِيكَ



    “Sebutlah nama Allah (ucapkan basmalah), makanlah dengan tangan kanan dan makanlah apa yang berada di dekatmu” (HR. Bukhari dan Muslim)

    di hadits lainnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيـَـقُلْ بِسْمِ اللهِ 



    “Apabila salah seorang dari kalian makan makanan maka ucapkanlah “Bismillah” (HR. At Tirmidzi)

    2. Pemberitahuan beliau bahwa syaithan ikut serta makan bersama manusia apabila tidak membaca basmalah.
    Hal ini berdasarkan hadits dari Umayyah bin Makhsyiyyi , beliau berkata :



    “Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم duduk dan seseorang sedang makan di sisinya namun ia tidak menyebut nama Allah, hingga tidak tersisa dari makannya kecuali sesuap dan ketika dia bermaksud untuk makan suapannya yang terakhir dia mengucapkan :


    بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ



    “Dengan nama Allah di permulaan dan di akhirnya”

    maka Nabi صلى الله عليه وسلم tersenyum kemudian bersabda :


     مَا زَالَ الشَّيْطَانُ يَأْكُلُ مَعَهُ فَلَمَّا ذَكَرَ اسْمَ اللهِ اسْتَقَاءَ مَا فِي بَطْنِهِ 



    “Senantiasa syaithan makan bersamanya, lalu ketika ia menyebut nama Allah سبحانه وتعلى, syaithan memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya” (HR. Abu Daud)

    Adapun do’a yang dibaca sesudah berbuka puasa adalah :


     ذَهَبَ الظَّـــمَأُ وَ ابْتَــلَّتْ الْعُرُوقُ وَ ثَبــَتَ اْلأَجْرُ
    إِنْ شَاءَ اللهُ 



    “Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan telah ditetapkan pahala Insya Allah” (HHR. Abu Daud)

    Do’a ini di baca setelah mencicipi makanan atau minuman berbuka puasa dan bukan sebelumnya karena tidak mungkin dikatakan telah hilang dahaga apabila belum makan atau minum –Wallahu A’lam-

    Dan masih terdapat beberapa do’a berbuka puasa selain do’a di atas namun semua riwayatnya tidak ada yang shahih, dan diantaranya adalah :


    اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ رواه أبو داود



    “Ya Allah hanya kepadaMu-lah saya berpuasa dan atas rizkiMu-lah saya berbuka puasa” (HHR. Abu Daud)

    Berkata Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid : “Sanad hadits ini dhaif” (Lihat Tashih Ad Du’a hal. 507)

    Berkata Syaikh Al Albani : “Sanad hadits ini dhaif, karena disamping hadits ini mursal, terdapat pula di dalamnya seorang rawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Mu’adz (bin Zuhrah)” (Lihat Irwa’ Al Ghalil 4:38)

    Adapun dzikir-dzikir khusus dan do’a- do’a yang dibaca secara berjama’ah dengan nada-nada tertentu menjelang waktu berbuka puasa maka ini tidak ada contohnya dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم -Wallahu A’lam-

    Memberi makanan untuk berbuka puasa
    Orang yang memberi makan untuk berbuka puasa akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يــَــنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَــيْئًا 



    “Barang siapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    Dan bagi orang yang diundang untuk berbuka puasa hendaknya memenuhi undangan tersebut selama di dalamnya tidak terdapat kemungkaran yang bertentangan dengan syariat, karena hal itu merupakan hak seorang muslim atas muslim lainnya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :


     حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ ….إِجَابــَـةُ الدَّعْوَةِ 



    “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima : (diantaranya)..Memenuhi undangan” (HR. Bukari dan Muslim)

    Dan disunnahkan bagi yang diundang untuk mendo’akan kepada pengundangnya setelah selesai makan, dan diantara do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم :


     اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْـعَمَنِي وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي 



    “Ya Allah berilah makan orang yang memberiku makan dan berilah minum orang yang memberiku minum” (HR. Muslim)
    atau membaca do’a:


     أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَـــيْكُمْ الْمَلاَئِكَةُ 



    Telah berbuka disisi kalian orang-orang yang berpuasa, makananmu telah di makan oleh orang-orang yang bertaqwa dan para malaikat telah bersalawat kepada kalian” (HR. Abu Daud dan Ahmad) -Al Fikrah-

    -Abu Muhammad Shabir bin Suhardi
    Al Atsari-

    Maraji’:
    1. Shifatu Shoumi An Nabi  fi Ramadhan, Salim bin ‘Ied Al Hilali dan ‘Ali Hasan ‘Ali Abdul Hamid
    2. Asy Syarh Al Mumti’ Ala Zadi Al Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

    Ringkasan Fiqh Puasa

    PENGERTIAN PUASA: Menahan diri dari perkara-perkara tertentu dengan niat, dari terbit fajar kedua/subuh hingga terbenam total matahari.
    HIKMAH PUASA, antara lain:
    a. Melatih sifat jujur dan amanah, sebab puasa adalah rahasia antara hamba dengan Allah subhanahu wata’ala
    b. Melatih sifat sabar dan pengendalian diri, sebab puasa melemahkan jalan syaitan
    c. Membiasakan zuhud terhadap dunia
    d. Menumbuhkan kasih sayang kepada orang-orang miskin
    e. Memberi manfaat kesehatan

    ORANG YANG WAJIB PUASA:
    Islam, baligh, berakal (waras), mampu, muqim, sehat.

    ADAB-ADAB PUASA:
    1. Makan sahur
    2. Makan sahur dengan kurma
    3. Menunda makan sahur hingga akhir waktu
    4. Menyegerakan berbuka
    5. Berbuka dengan ruthab (kurma segar), atau tamr (kurma kering), atau air putih
    6. Do’a ketika sedang puasa dan setelah berbuka
    7. Menjaga diri dari segala bentuk maksiat dan dosa
    8. Shadaqah
    9. Membaca Al Qur’an
    10. Bersungguh-sungguh dan meningkatkan ibadah pada sepuluh terakhir Ramadhan
    11. I’tikaf
    12. Siwak
    13. Tidak berlebih-lebihan dalam berkumur atau membasuh hidung ketika berwudhu’
    14. Tidak mendahului Ramadhan dengan puasa nafilah satu atau dua hari

    RUKUN-RUKUN PUASA:
    1. Niat. Untuk puasa wajib, harus niat sebelum masuk waktu shalat subuh
    2. Tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa

    PEMBATAL-PEMBATAL PUASA:
    1. Riddah (keluar dari agama Islam)
    2. Makan dan minum dengan sengaja
    3. Jima’
    4. Keluarnya mani dengan sengaja
    5. Keluarnya darah haid atau nifas
    6. Obat atau suntikan yang dapat mengganti fungsi makanan, termasuk transfusi darah
    7. Muntah dengan sengaja
    8. Keluarnya darah dalam jumlah banyak secara sengaja: hijamah, donor darah, dll

    BUKAN PEMBATAL PUASA:
    1. Celak mata
    2. Obat tetes mata atau hidung atau telinga
    3. Parfum dan wangi-wangian
    4. Suntikan pengobatan
    5. Keluarnya madzi
    6. Debu atau lalat terbang yang masuk ke tenggorokan dan tertelan
    7. Obat hirup
    8. Obat kumur
    9. Obat pada luka
    10. Menelan air liur atau dahak biasa
    11. Keluar sedikit darah, seperti luka atau pemeriksaan golongan darah
    12. Pembatal-pembatal puasa yang dilakukan tanpa sengaja

    ORANG-ORANG YANG TIDAK BERPUASA:
    A. Kewajibannya adalah qadha’ (mengganti dengan puasa setelah Ramadhan sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan)

    1. Orang sakit sementara yang ada kemungkinan sembuh
    2. Pingsan
    3. Musafir
    4. Haidh
    5. Nifas
    6. Orang yang sengaja membatalkan puasa karena uzdur syar’i
    7. Wanita menyusui yang tidak puasa karena khawatir terhadap kondisi dirinya atau kondisi dirinya bersama bayinya (ket: ketetapan tidak mampu dapat lewat pengalaman atau pengamatan langsung kondisi ibu atau keterangan dokter terpercaya)
    8. Wanita hamil yang meninggalkan puasa karena khawatir terhadap kondisi dirinya atau kondisi dirinya bersama janinnya (ket: sda.)

    B. Kewajibannya adalah ith’aam (mengganti dengan memberi makan satu orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tinggalkan)
    1. Orang lanjut usia
    2. Orang sakit permanen yang kecil kemungkinan untuk sembuh

    C. Kewajibannya adalah qadha’ dan ith’aam sekaligus
    1. Wanita menyusui yang tidak puasa karena khawatir terhadap kondisi bayinya (ket: sda.)
    2. Wanita hamil yang tidak puasa karena khawatir terhadap kondisi janinnya (ket: sda.)
    D. Kewajibannya adalah tobat dan kaffarah (memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau ith’aam 60 orang miskin): jima’
    E. Tidak berdosa: puasa anak kecil yang mumayyiz tapi belum baligh (dewasa)

    BEBERAPA KASUS:

    1. Yang afdhal bagi musafir yang tidak menemui kesulitan apapun dalam melaksanakan puasa adalah yang lebih mudah bagi dirinya, antara puasa dan meninggalkannya dengan qadha’

    2. Sopir atau pelaut:
    (a) Bagi bujangan atau orang yang membawa serta keluarganya, dia wajib puasa. Karena perjalanannya tidak terputus
    (b) Bagi orang yang memiliki keluarga tapi tidak dibawanya serta, dia boleh puasa dan boleh juga tidak dengan qadha’ (Fatwa Syekh Abdul ‘Aziz b. Baz)

    3. Obat penunda haidh boleh digunakan, tapi tidak dianjurkan. Hal ini mengingat tidak sepinya obat-obatan kimiawi umumnya dari efek negatif bagi kesehatan

    4. Orang yang bangun subuh dalam keadaan junub, tidak mengapa menunda mandi hingga masuk waktu shalat subuh. Dengan tetap melaksanakan shalat subuh berjamaah di mesjid.

    5. Orang mimpi basah di siang hari tidak batal puasanya

    6. Orang yang udzurnya hilang di tengah hari puasa, melanjutkan puasanya. Contoh: suci dari haidh, masuk Islam, mukim setelah safar, dll.

    7. Qadha’ yang tertunda hingga melewati Ramadhan berikutnya:
    (a) Bila dengan udzur, cukup diganti dengan qadha’ saja
    (b) Tanpa udzur syar’I, disamping qadha’ juga ith’aam

    8. Satu-satunya puasa yang ahli waris dianjurkan untuk mempuasakan orang yang telah meninggal adalah puasa nadzar

    9. Satu kali niat untuk satu bulan cukup untuk puasa Ramadhan

    SALAH PAHAM DALAM RAMADHAN: al. imsak atau berpuasa sebelum masuk waktu shalat subuh
    Wallahu ta’ala a’laa wa a’lam

    Maraji’:
    Abdullah b. Abdul Rahman Al Bassam, Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram.
    Shalih b. Fauzan Al Fauzan, Al Mulakkhashul Fiqhiy.
    As Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah.
    Hai’ah Kibaril ‘Ulama bil Mamakatil ‘Arabiyatis Su’udiyyah, Al Buhuts Al ‘Imiyyah.

    Ilham Jaya Abdurrauf

    http://www.wahdah.or.id/

    Menata Waktu di Bulan Ramadhan

    Hari-hari Ramadhan adalah rentang waktu berlipat pahala yang tidak ada batasnya. Jam-demi jamnya adalah rangkuman kasih sayang Allah Ta’ala kepada haba-hambanya. Menit demi menit adalah hembusan angin surga yang menyejukkan. Detik-demi detiknya adalah kesempatan yang tidak ternilai dalam bentangan umur kita.
    Karena itu mengagendakan kegiatan selama Ramadhan menjadi sangat penting. Melalui hari-harinya dengan amal harus menjadi tekad kita semua. Berikut ini agenda yang bersifat usulan sekaligus nasehat bagaimana menata waktu-waktu kita di bulan Ramadhan.

    Dari Sahur Sampai Subuh
    Upayakan bangun sebelum fajar, sekitar pukul 04.00 pagi. Ini adalah waktu sepertiga akhir malam terakhir yang istimewa. Qiamullaillah meski hanya dua rakaat!. Jangan lupa bangunkan keluarga anda untuk shalat malam. Apabila Umar bin Khatthab baangun beliau segera membangunkan keluarganya untuk shalat. Ia berseru: “Shalat, shalat! Seraya membacakan ayat ini “Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezki kepadamu”(QS.Thaha:132)

    Mungkin banyak di antara kita yang melalaikan waktu yang berharga ini dengan alasan malamnya sudah melaksanakan shalat tarawih. Padahal mestinya waktu-waktu sepertiga akhir malam harus tetap bisa dihidupkan lebih banyak dari pada bulan-bulan yang lain.
    Setelah itu kita bersahur karena memang sahur adalah sunnah Rasulullah. Jangan lupa banyak beristghfar dan berdo’a sebab waktu-waktu ini adalah waktu istijabah.

    Setelah Shalat Subuh
    Berhati-hatilah dari terpaan rasa kantuk. Berusahalah tidak tidur dalam ruas waktu setelah subuh hingga terbit matahari. Para Salafus shalih sangat tidak menyukai tidur pada waktu itu.

    Ibnul Qayyim dalam Madaarijus Salikin mengatakan, “di antara tidur yang tidak disukai menurut mereka adalah tidur antara shalat shubuh dan terbitnya matahari, karena waktu untuk memperoleh hasil bagi perjalanan ruhani, pada saat itu terdapat keistimewaan besar, sehingga andai merekapun melakukan perjalanan (kegiatan) semalam suntuk pun, belum tentu bisa menandinginya.”Karena itu duduklah berdzikir sesudah shalat subuh, dan bertahanlah dari rasa kantuk. Karena kebiasaan akan terbentuk setelah melalui tiga hari dengan ritme yang berbeda. Selanjutnya kita tidak lagi merasakan kantuk sedahsyat sebelumnya, insya Allah.

    Setelah itu shalatlah dua rakaat begitu matahari terbit. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,”Barang siapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian tetap duduk berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, maka ia seakan-akan memperoleh pahala haji dan umrah (HR.Tirmizi, dishahihkan Al-Albani)

    Saat Bekerja
    Di antara kita banyak yang memiliki rutinitas mencari nafkah dan belajar di bulan Ramadhan. Bekerjalah dengan tetap bersemangat dan teliti. Selingilah waktu kerja-kerja kita dengan tetap berdzikir dan tidak meninggalkan shalat lima waktu berjamaah di masjid-masjid kaum muslimin. Teruslah berupaya menambah amal-amal sunnah yang bisa dilakukan saat bekerja. Seperti mengajak orang kepada kebaikan, bersedekah, ikut berkonstribusi dalam pelaksanaan kegiatan dakwah di masjid kantor pada bulan ramadhan. Atau kita aktif melarang kemungkaran, misalnya dengan mencegah orang berghibah,mengadu domba dll.

    Pertengahan Siang
    Berusahalah untuk tetap istirahat sekitar 15 hingga 30 menit menjelang atau sesudah Dzuhur. Istirahat atau tidur pada rentang waktu ini disebut dengan qailulah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para salafus shalih biasa melakukan qailulah ini. Qailulah ini adalah merupakan simpanan energi bagi mereka yang gemar melakukan qiamullail. Waktunya mungkin tidak lebih dari setengah jam, tapi manfaatnya sangat terasa ketika kita bangun qiamullail

    Waktu Shalat Ashar
    Shalatlah berjamaah di masjid. Ingatlah lipatan pahala di bulan ini. Bila usai shalat dan pekerjaan anda sudah selesai. Luangkanlah waktu anda membaca. Di sampaing membaca al-Qur’an tentunya, bacalah juga buku-buku islam dengan tema yang beragam. Misalnya tentang tema tazkiyatun nafs, sirah nabawiyah, pergerakan islam dll. Atau jika anda lelah tetaplah berusaha menambah ilmu anda dengan mendengar muhadharah ilmiah melaluai kaset-kaset atau alat rekaman lainnya. Lakukanlah hal ini sampai menjelang berbuka puasa. Menjelang buka jangan lupa membaca dzikir sore sambil tetap banyak berdo’a, sebab do’a orang yang berpuasa tidak tertolak.

    Waktu Maghrib
    Setelah seharian penuh kita menahan lapar dan dahaga, maka tibalah saatnya kita untuk berbuka. Bersyukurlah secara lebih mendalam kehadirat Allah Ta’ala karena kita diberikan karunia untuk dapat menyelesaikan hari dengan berpuasa. Jangan lupa berdo’a dengan khusyu’ ketika berbuka, berbukalah dengan tegukan-tegukan air manis diiringi dengan kesyukuran di dalam hati. Sebaiknya kita tidak segera berbuka dengan makanan berat, kerena kita akan melaksanakan shalat maghrib berjamaah di Masjid. Usai berjamaah, lanjutkan dengan makanan berat dan akan lebih baik bila kita menundanya usai shalat Tarawih berjamaah karena lebih memudahkan kita untuk menghindari ngantuk sehingga kita menjadi khusyu’ dalam shalat. Dan jangan lupa makanlah secukupnya saja.

    Waktu Isya
    Bersegera menunaikan shalat Isya dan Tarawih di Masjid, berusahalah untuk disiplin, apapun keadaaannya. Jika harus terhalangi oleh kegiatan yang sangat mendesak, lakukan shalat Tarawih segera setelah kegiatan kita selesai. Sebaiknya kita menyempurnakan shalat Tarawih bersama imam, agar kita termasuk orang-orang yang menghidupkan Ramadhan dengan shalat malam. Rasulullah Shallallahu a’laihi Wasallam bersabda, yang artinya :”Siapa saja yang shalat Tarawih bersama imam hingga selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah). Lakukanlah hal ini terus menerus sepanjang 20 hari pertama bulan Ramadhan. Untuk kaum Muslimah tentu saja agenda ini dapat dilakukan di rumah. Ingat juga, agar kita lebih banyak melakukan tilawah Al-Qur’an dan memprogramkan untuk hatam minimal sekali dalam bulan ini. (Al Balagh)

    http://www.wahdah.or.id/